PBB akan Jadikan Tanggal 5 November sebagai Hari Tsunami Internasional

5-november-hari-tsunami-internasional

Jikalau ditarik mundur, benar-benar telah melalui lebih dari satu dekade silam bencana tsunami dahsyat menghempaskan apapun di wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Hempasan air bah tsunami yg muncul sekian banyak disaat sesudah gempa gede mengguncang dalam skala 9 skala richter terhadap 26 Desember 2004 terang tidak akan sempat dilupakan oleh penduduk Indonesia. Sampai hri ini, bencana tsunami Aceh 2004 silam yakni catatan bencana sangat buruk di Indonesia bahkan jadi bencana paling buruk di dunia dalam sekian banyak dekade terakhir.

Selagi berabad terakhir, bencana tsunami yg berlangsung pasca gempa dahsyat benar-benar jadi satu-satunya bencana alam sangat buruk yg sudah menewaskan beberapa ratus ribu jiwa dalam peradaban dunia. Tsunami Aceh thn 2004 silam saja menewaskan lebih dari 220 ribu jiwa akibat terhempas air laut yg masuk sampai ke tengah kota & menyapu bersih apapun yg menghalangi.

Bertolak dari kenyataan bahwa tsunami merupakan bencana dahsyat yg tidak boleh dilupakan oleh penduduk dunia, & mesti langsung dibangun system manajemen risiko bencana gempa & tsunami yg berstandar internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hasilnya mengusulkan dapat menjadikan tanggal 5 Nopember juga sebagai hri tsunami internasional, atau hri tsunami se-dunia.

Dikutip dari page pemberitaan Antaranews, pemerintah Aceh melalui Gubernur Banda Aceh Zaini Abdullah serta mensupport penuh usulan & upaya PBB menjadikan tanggal 5 Nopember yang merupakan peringatan Hri Tsunami Internasional.

Pertanyaannya selanjutnya, kenapa tanggal 5 Nopember ditetapkan juga sebagai tanggal yg berhubungan bersama kejadian bencana tsunami? Nyatanya tanggal 5 Nopember mempunyai histori utama dalam catatan kebencanaan tsunami skala internasional. Lebih dari seabad dulu, terhadap tanggal 5 Nopember thn 1854, seseorang masyarakat desa di wilayah yg saat ini masuk dalam sektor Wakayana Perfecture, Jepang sudah menyelamatkan tidak sedikit nyawa bersama menyadari datangnya tsunami. Setelah Itu Dia menggandeng beberapa ratus penduduk desanya buat berlari sejauh bisa saja dari bibir pantai utk menghindari tsunami.

Kisah itu mengingatkan kembali berkenaan budaya “Smong” yg telah mengakar di budaya penduduk Pulau Simeuleu, Sumatera Utara sejak era nenek moyang dulu. Budaya Smong atau menyanyikan tanda-tanda munculnya tsunami dalam satu buah lirik syair penuh nilai budaya nyata-nyatanya sudah menyelamatkan ribuan jiwa masyarakat Simeuleu.

Diwaktu itu, kala usai gempa agung mengguncang Aceh, Pulau Simeuleu, & negara-negara lain di seputar Samudera Hindia, penduduk Simeuleu serentak menyadari tanda-tanda dapat terjadinya bencana dahsyat. Dalam lirik Smong itu diceritakan bahwa apabila masyarakat Simeuleu menyaksikan air laut surut amat sangat jauh dari pesisir pantai sesaat usai gempa akbar berguncang, sehingga secepat kemungkinan mereka mesti mencapai area ketinggian di bukit atau gunung. Lantaran surutnya air laut pasca gempa akbar itu jadi tanda paling kasat mata dari bencana tsunami.(cal)

img : siefya.com

Sumber

Tinggalkan komentar